Ruang Gelapku
Aku adalah seorang yang pendiam. Ya, aku mengakuinya. Aku tidaklah menarik, ataupun asyik. Aku hanyalah seorang yang standar. Tanpa adanya dirikupun semua akan tetap mulus. Hidupku ini bagaikan siklus yang terus berjalan. Bangun di pagi hari, berpergian ke sekolah, pulang dari proses pembelajaran, mengikuti pembelajran tambahan setiap harinya. Dan kembali ke rumah. Ya itulah kehidupanku setiap harinya. Tiada yang bagus di hidupku ini. Oh ya, perkenalkan namaku Dina. Sekarang ini aku sedang duduk di bangku SMP kelas tertinggi. Aku tidaklah tenar ataupun populer. Seseorang yang selalu berada di sampingku hanyalah diriku sendiri.
Tiap hari-hariku yang kuhabisi di masa singkatku di SMP ini sungguh menjenuhkan. Aku sudah merasa sangat jenuh dengan kehidupanku ini. Terutama karena aku yang tidak memiliki satu orangpun untuk mencurahkan cerita tentang beban hidupku yang kupikul ini. Mungkin saja kamu berpikir. Memangnya aku memiliki beban hidup? Toh hidupku ini hanya biasa – biasa saja. Namun jujur saja. Dulu aku bukanlah seseorang dengan kepribadian seperti ini.
Trauma adalah satu kata yang tak dapat terpisah dengan diriku. Setiap hari aku dihantui dengan hal ini yang sungguh membuat aku menjadi diriku yang selalu menyendiri ini. Aku pernah merasa memiliki sosok sahabat yang bisa selalu ada disampingmu. Perasaanku pernah bemekaran seperti bunga dan kikuk sekali aku pernah memiliki pemikiran
“Mungkin inilah sahabat yang diutuskan untukku.”
namun saat ini? Punya teman saja tidak, haha….. Semua harapan itu sudah hancur di depan mataku. Andai kata buku yang sudah dibakar menjadi serpihan-serpihan debu. Debu itu tidak akan kembali bukan? Aku baru menyadari betapa licik dan busuknya realita yang kuhadapi ini. Dibalik setiap senyum yang kutemui, aku sudah benar-benar mengerti itu hanyalah topeng yang mereka pakai untuk mengelabui diriku dan diri mereka sendiri. Sejak perasaanku yang sudah menjadi serpihan itu aku sudah dapat melihat dunia ini dari pandangan lain.
Setiap saat aku melihat seseorang tersenyum padaku lantas langsung saja pikiranku berkelana dan mengambil kesimpulan
“Halah, topeng seperti itu buat apa kamu perlihatkan ke aku?”
Saat ada seseorang yang menyapaku dan mengucapkan selamat pagi. Tentu saja pikiranku sudah dapat mengetahui maksud dari hal tersebut
“Wow aku sudah melihat batunya tuh, mana udangnya?”
Ketika guruku mulai memperhatikanku dan mulai menanyakan keberadaanku ini aku juga sudah dapat mengerti persis apa kemauan guru ini dari diriku
“Haha.. Aktingmu bagus juga, kalau akhir-akhirnya gak akan berbuat apa-apa mendingan ga usah nanya deh”
Pikiranku sudah dipenuhi dengan kepesimisanku ini. Aku tahu itu tidak baik, tapi apa dayaku? Aku selalu berpikiran bahwa orang-orang di sekitarku ini memang benar hanya mendekatiku demi keuntungan dan keperluan egois mereka masing-masing, dan aku percaya akan pemikiran itu. Aku memang sekarang tidak memiliki teman. yah lagi pula, siapa juga yang perlu seorang teman? Aku sudah memiliki diriku sendiri kok dan itu sudah cukup memuaskan.
Hari-hari ini aku mulai semakin menyendiri, dan akupun tidak peduli mau teman-temanku membenci diriku. Sampai-sampai aku mulai makan di dalam kloset putri. Setiap istirahat aku akan pergi ke kloset untuk makan secara sendirian di tempat itu. Mungkin orang-orang akan berpikir
“Ih jijik banget sih, kok makan di dalam kloset?” atau mengolokku
“hihi kasihan banget deh saking gapunya temennya tuh.” mungkin juga ada yang berpikir
“wessss elit abis deh makan di dalem kloset.”
Saat itu aku membiarkan makananku terduduk di pangkuanku dan aku bergeming. Memandang pintu di depanku dengan pandangan hampa. Lalu entah dari mana dan kenapa air mulai mengucur dari mataku. Membasuh bola mataku. Dengan cepat aku pun mulai menutup mataku serta berpikir
“Apakah aku memang semenyedihkan itu??”,
“Ataukah aku memang setidak disukainya oleh temanku samapi mereka berani mengambil langkah meninggalkanku?”
“rasanya aku ingin menghilang dari dunia ini!”
Dengan spontan akupun terus menangis dengan tersedu-sedu di dalam kloset pribadiku itu. Mungkin memang kenyataanya aku tidak sekuat yang kupikirkan. Semua itu hanyalah ilusi yang kuciptakan sendiri di pikiranku. Semata-mata ilusi itu hanya menarikku makin dalam ke penderitaan dan kesendirian yang harus kuhadapi sendirian. Keputusasaanku makin menjadi. Rasa ketidak butuhaanya diriku di sekolah inipun makin melekat di dirku. Lalu akupun berpikir sejenak di dalam benakku.
“Apakah kepergian seorang temanku ini yang membuatku semenderita sekarang ini?”
karena jujur saja beban yang kupikul sejak ditinggalkan temanku semakin terasa berat. Kepergiannya dari hidupku meninggalkan bekas luka bakar yang mendalam. Yang membuat kejadian itu masih teringat jelas di dalam pikiranku dan terus-menerus terulang. Lalu tak terasa air mataku makin bercucuran deras.
“Tolonglah Tuhan aku sudah benar-benar lelah dengan apa yang kuhadapi ini”
Mungkin aku malu untuk memulai pertemananku dengan keadaanku yang seperti ini. Aku juga takut, apabila benar aku memulai tali pertemananku lagi apakah pengkhianatan akan terulang lagi dan meninggalkanku di dalam kesendirian? Di dalam ruangan gelap yang membuatku sungguh terkekang ini. Semua ketidak pedulian yang aku pikirkan itu hanyalah kebohongan belaka. Aku sendiri yang menciptakan sosok ketidak pedulian itu agar aku tetap was-was dengan keadaaan di sekitarku. Tapi tetap saja aku memang orang yang terlalu memikirkan banyak hal. Heh, tentu saja ilusi yang kuciptakan sendiri itu lama-kelamaan akan dihancurkan oleh diriku sendiri. Karena pada dasarnya aku memang selalu memikirkan sesuatu sampai sedetail-sedetailnya..
KRINGGGG
Bel masuk sudah berbunyi tanda aku harus kembali ke dalam proses pebelajaranku lagi. Sebenarnya aku malu mau masuk ke dalam kelasku dengan muka sembab seperti ini. Pasti seluruh muka ku sudah terlihat merah karena tangisanku tadi. Akupun melihat ke pangkuanku dan melihat ada makanan yang masih belum tersentuh. Aku mengambil makanan tersebut dan memantapkan langkah kakiku untuk keluar dari pintu kloset pribasiku itu. Tangaku membuka kunci dari pintu tersebut dan mendorongnya. Namun betapa kagetnya diriku ketika melihat ada seseorang yang berdiri tepat di depan pintu tersebut. Rambutnya panjang berwarna hitam dan dapat kukatakan tingginya sekitar 160 cm. Matanya berwarna hitam pekat.
Mula-mula aku guugup dan menutup mukaku dengan tangan. Sambil mengintip-intip aku memperhatikan orang tersebut dan menyadari bahwa ia memelototiku. Akupun akhirnya mulai memberanikan diri dan menanyakannya dengan nada kasar.
“Ngapain kamu di sini? Ini kan udah bel masuk!!”
Orang itu tetap memelototiku dan memperhatikan gerak-gerikku dengan sangat terperinci. Aku merasa sangat tidak enak dan terganggu. Lalu ia sedikit mendekat
“Loh aku ke sini karena mau ke kloset memangnya engga boleh?”
Aku terdiam mendengar perkataanya itu. Dan berpikir
“Oh, iya juga ya dia kan ke sini mau ke toilet. Mungkin aja dia juga engga mendengar tangisanku tadi… Yaudahlah langsung pergi aja malu-maluin banget sih…”
Saat menyadari tindakanku yang mamalukan tadi aku langsung melangkahkan kakiku menuju pintu keluar kloset. Namun langkahku terhenti ketika aku merasa tangan seseorang mulai menggengam pergelanganku. Aku mencoba untuk melepaskan genggaman tersebut. Namun tangan itu sungguh kuat. Lalu orang yang tadi memelototiku itu mulai mengangkat pembicaraan.
“Aku mendengar tangisanmu tadi…. dan jujur saja aku dulu pernah menyapamu, aku kaget saat melihat orang yang keluar dari kloset itu adalah kamu”
Aku terdiam mendengar perkataan orang itu.
“Hei Dina, jangan menyendiri teruslah. Aku siap kok menjadi temanmu.”
Aku tetap terdiam dan berusaha untuk mengolah kata-kata yang ia ucapkan
“Jika kamu perlu teman untuk curhat aku akan bersedia kok, namaku Janice. Cari saja aku di kelas 9B dan aku akan siap menjadi pendengar.”
Aku berusaha untuk melihat pandangan mata orang tersebut dan saat kulihat padangan mata itu sangat tulus. Baru saat ini aku melihat mata seseorang yang begitu tulus. Atau mungkin karena aku sudah jarang berkomunikasi dengan orang sekitarku maka aku sudah tidak dapat membedakan lagi?
“Yasudah aku duluan ya, mungkin kamu masih perlu waktu sendirian..”
Orang itu mulai melangkahkan kakinya keluar dari toilet. Dan aku tetap bergeming. Kakiku mulai melangkah ke wastafel, dan perlahan-lahan tanganku mulai memutar kerannya. Saat melihat ke depan, tergambar tepat di depanku bayangan maya dari diriku sendiri. Aku memperhatikan bayangan tersebut dengan seksama. Dan mulailah muncul pemikiran di dalam benakku
“mungkin aku harus memulai meninggalkan masa laluku yang kelam, dan membuka lembaran kertas baru…”
Aku sungguh kaget saat mendengar orang yang disebut Janice itu mengetahui namaku dan menyatakan kepadaku untuk berhenti menyendiri. Saat itu hatiku sudah benar-benar bergetar saking takutnya. Janice mengatakan bahwa ia ingin menjadi teman berceritaku…
“Apakah aku siap untuk membuka kembali diriku pada seseorang yang benar-benra baru?”
Aku sungguh mempertimbangkan pilihanku ini lalu muncul seserpih cahaya di dalam pemikiranku
“ Tidak ada salahnya bukan untuk mencoba berubah ke arah yang lebih baik?”
Mungkin aku bisa sedkit-demi sedikit bangkit berdiri dari rungan gelap itu dan memulai kembali apa yang mungkin sudah tidak ada harapan. Sehancur-hancurnya harapanku masih akan ada cahaya bukan yang terselip? Aku mulai mengambil napas yang panjang dan mengembang kempiskan dadaku. Lalu akupun memutuskan
“Aku akan mencoba untuk membuka diriku dan mendobrak semua ketraumaanku ini”
Mungkin hal tersebut tidak mudah. Banyak ilusi dan pemikiran dari diriku sendiri yang akan menghalangi usahaku itu. Namun entah bagaimana aku percaya dengan Janice. Meskipun aku tahu langkah dan usaha yang perlu kujalani tidak mudah. Dan memerlukan proses yang cukup panjang untuk aku kembali ke keadaan primaku lagi. Namun, aku yakin aku bisa melalui semua ini, aku akan memulai langkahku dengan penuh keyakinan, membuktikan bahwa pemikiran-pemikiranku yang dulu salah. Dan membangun diriku yang lebih baik sedikit demi sedikit. Lembaran demi lembaran akan kutulis kembali ceritaku yang baru. TAMAT. (Michelle Prisillia Pramajaya)
Karyanya sangat bagus, alurnya juga bagus dan saya suka sekali dengan Janice yg sudah berusaha membantu Dina. Semoga anak-anak masa kini dapat membantu teman yg kesulitan. Makasih kak???