Kasih Sayang Itu Apa?
“Kamu mengapa berkata seperti itu? Kamu sejahat itu tidak memedulikan orang lain, dan tidak mau menerima kepedulian mereka kepadamu! Seperti kamu tidak memiliki perasaan!”
“Kalau memang seperti itu mau diapakan lagi?”
Aku terbangun dari tidur. Kulihat jam, ternyata sudah jam setengah 7, “Mampus, nanti terlambat!” Aku berkata, dan lompat dari tempat tidur dan siap-siap secepatnya. Aku keluar dari kamar dan turun ke lobby. Aku menitipkan kunci apartemenku ke resepsionis, dan langsung lari ke kampus.
Saat aku sampai, aku melihat semua pintu tertutup. Aku melihat handphone dan sudah jam 7:15. Biasanya jam segini sudah ramai. Aku melihat handphone lagi, dan ternyata, “Ini hari Sabtu!” Aku berkata sambil memukul kepalaku.
Akhirnya, setelah banyak marah dengan diri sendiri, aku pergi ke mini-market terdekat dan membeli dua kaleng soda.
“Untuk apa kamu membeli dua kaleng?” Seseorang perempuan bertanya selagi aku sedang duduk meminum, “Aku sebenarnya hidup untuk soda, Rebecca.” Aku tersenyum geli, “Sebentar lagi kamu akan mendapat diabetes, Kay,” Becca tertawa, sambil duduk di sebelahku, “Yah, biarkanlah,” Aku berkata, pasrah.
“Orang tuaku tidak pernah membiarkanku minum soda sembarangan. Aku hanya boleh meminum satu kaleng per bulan!” Rebecca berkata tersenyum, “Tidak enak sekali! Bibiku tidak peduli dengan kesehatanku, jadi aku minum sepuluh kaleng per hari juga boleh! Haha!” Aku tertawa.
Tetapi Rebecca cemberut, “Bibimu tidak mempedulikanmu?” Ia berkata, sedih, “Bukan tidak peduli! Tetapi dia santai, dan ingin aku membuat pilihan hidup sendiri.” Aku berkata, “Kay, itu tidak bisa diterima! Orang tuamu dimana?” Rebecca bertanya.
“Erm.. mereka…” Aku berkata tetapi tidak ingin mengingat masa lalu, “..sudah tidak bersamaku…” Aku berkata, sedikit pelan. Rebecca menutup mulut dengan tangannya, dan kemudian ia memelukku.
Perasaan apa ini..? Seperti nostalgia.. tetapi… berbeda.
Aku mendorong dia pelan-pelan, “Itu apa tadi?” Aku bertanya, “Apa? Pelukan?” Rebecca berkata dan aku mengangguk, “Kamu tidak pernah dipeluk? Dicium pun juga belum?!” Ia bertanya, dan aku menggelengkan kepala, “Seperti kamu tidak pernah merasakan rasa kasih sayang secara keseluruhan!”
Aku mengangguk. Rebecca hanya menatapku dengan mata pennuh kasihan.
“Aku memang berbeda. Aku bisa merasa senang, sedih, dan marah. Aku juga bisa membuat orang laing merasa senang, sedih, dan marah. Tetapi aku tidak bisa merasakan rasa kasih sayang dari orang lain untukku. Aku tidak pernah mersa disayangi. Bisa saja aku membuat mereka merasa disayangi olehku, tetapi.. Aku sebenarnya tidak tahu mau berbuat apa.” Aku berkata, dan Rebecca meletakkan tangan pada pundakku.
“Kasih sayang itu.. rasanya seperti apa?” Aku bertanya padanya.
Rebecca terlihat kaget. Dia pasti belum pernah ditanyakan hal seperti ini. “Erm.. kasih sayang itu perasaan yang kamu rasakan saat kamu menyadari bahwa ada seseorang yang peduli padamu, ingin selalu bersamamu, dan akan melakukan apapun untuk kebaikanmu. Setidaknya, menurut aku seperti itu.” Ia menjelaskan.
“Aku ingin merasakannya.. Sepertinya indah…” aku berkata sambil menutup mukaku dengan tangan. “Selama ini, aku berpura-pura. Tidak ada yang peduli padaku, jadi aku tidak pernah memedulikan siapapun,” Aku berkata.
“Aku peduli padamu.” Rebecca tersenyum manis, “Terima kasih, Becca. Tetapi aku tidak merasakannya. Hatiku sepertinya tidak bisa menerima atau memberi kasih sayang sesungguhnya..” Aku tersenyum.
“Aku ingin membantumu. Aku ingin kamu bisa merasakan kasih sayang. Apakah kamu menginginkannya juga, Kay?” Ia bertanya, “Jika aku jujur, iya. Aku seperti tidak memiliki hati, dan di dalam aku hanya merasa.. kosong. Aku tidak ingin merasa seperti ini selamaya, Becca. Tetapi dalam sisi lain, aku tidak bermasalah apa-apa dengan tidak memiliki perasaan apapun untuk siapapun.” Aku berkata.
“Kamu mengapa berkata seperti itu? Kamu sejahat itu tidak memedulikan orang lain, dan tidak mau menerima kepedulian mereka kepadamu! Seperti kamu tidak memiliki perasaan!” Rebecca bersahut.
“Kalau memang seperti itu mau diapakan lagi?” Aku menjawab.
Rebecca menatapku dengan ekspresi tidak percaya, “Baiklah. Aku tidak tahu bagaimana caranya kita berteman selama tiga minggu dan kemudian sampai di titik ini. Tetapi kamu tidak ingin dibantu, jadi aku biarkan. Jika kamu sadar bahwa kamu perlu bantuan, jangan lari ke aku, karena aku tidak akan mencoba membantumu lagi.” Ia berkata, “Rebecca, kau jangan berpikir seperti itu!” Aku berkata, “Aku tidak akan ragu-ragu, Kay!” Ia berkata sambil keluar dari mini market.
Setelah beberapa minggu, aku tidak berbicara dengan Becca lagi. Aku hanya melihatnya saat di kelas sejarah desain, dan itu jarang karena kelas itu besar sekali. Dia sudah tidak pernah datang ke mini-market, dan aku selalu ingin menangis memikirkannya.
Sedikit demi sedikit, aku jatuh dalam depresi. Aku kangen Rebecca, hatiku masih kosong, dan aku selalu mengatakan hal-hal buruk kepada diri sendiri.
“Kau tidak berharga.” “Kau tidak layak hidup.” “Menangis saja terus.” “Mengapa masih mencoba?” “Jika kau menghilang, tidak akan ada yang sadar.”
Aku selalu berpikir apa yang bisa kukatakan pada hari itu, dan apa yang harusnya kulakukan agar aku tidak sampai pada titik ini. Aku hanya ingin sahabatku kembali. Dia satu-satunya yang mengerti. Dia satu-satunya yang akan mendengarkan. Dia satu-satunya yang bisa membantu…
..Dan aku menolak kasih sayangnya… Maafkan aku, Becca.
“Aku senang kamu menyadari kesalahanmu, Katelyn.” Aku berkata pada cermin, “Aku ingin kamu menerima, atau setidaknya menyadari, kasih sayang dari orang lain. Tetapi kamu juga harus sayang pada orang lain. Dan untuk itu, aku akan menjadi bahan percobaannya. Kuharap proses mengacang ini berefek.”
Aku menatap cermin dan menyadari bahwa tidak akan ada yang menjawab, “Terkadang aku merasa gila berbicara pada diri sendiri seperti ini.”
Aku mengambil tas dan pergi ke gedung apartemen Kay. Aku naik lift berjalan ke kamarnya.
*ding dong*
“Halo, apakah bisa diban—AH!!” Katelyn menjerit, “Hai, Kay!” Aku tersenyum manis.
“Re..Rebecca! Kamu sedang apa disini?” Ia bertanya, “Aku hanya ingin bertemu denganmu. Sudah lama kita tidak nonton film bersama. Aku membawa—“ Kalimatku terpotong saat Kay memelukku erat-erat.
Dia lucu sekali karena dia sangat pendek dan hanya bisa memeluk sampai pinggulku, “Rebecca… maafkan aku..! Aku menyadari bahwa kamu memang sayang padaku, dan aku tidak bisa hidup tanpanya! Aku ingin kita berteman lagi, Becca..! Tolong jangan tinggalkan aku lagi!” Ia menangis ke dalam perutku.
“Hahaha! Tenang, aku tidak akan mengacangimu lagi, aku janji. Tetapi kamu harus mengatakan satu hal,” Aku melepaskannya dan menatapnya pada mata, “Apa itu?” Ia bertanya, mengusap air matanya.
Aku menunjuk diriku, lalu membentuk hati dengan tanganku, dan kemudian menununjuk pada Kay.
“Ah.. uhm… Aku sayang kamu, Becca. Sekarang aku betul menyadarinya. Kamu sahabat terbaikku dan aku berharap kita seperti ini selamanya!” Ia berkata.
Astaganaga, dia ini lucu bangeetttt…!
“Hm.. terima kasih, Kay. Sekarang, mau nonton ‘Mean Girls’ atau ‘Come Along with Me’?” Aku bertanya sambil tersenyum, “Dua-duanya! Tapi ‘Mean Girls’ duluan!” Ia berkata gembira.
“Kau bisa mambuat berlian terlihat membosankan, karena kecantikan hatimu.”
Kidung K. Ardyanto (9D)